Selasa, 30 Juli 2013


MATI 

(CERPEN)



Hidup memang terkadang tidak adil. sesulit apapun cobaan yang kita lewati masih harus berjuang untuk memperoleh sebuah kebahagiaan. tapi.. jika sudah merasa kehilangan apa yang harus kita lakukan? segelintir orang menganggap bahwa bunuh diri adalah pilihan yang tepat. mengakhiri sebuah kehidupan untuk memperoleh sebuah ketenangan. jika benar.. untuk apa ada kehidupan? bukankah lebih baik semua orang segera mengakhiri hidupnya atau melakukan sebuah tindakan bunuh diri massal. tidak, itu SALAH. sekuat apapun kita menolak takdir, hidup masih terus berlanjut. bukankah setiap manusia telah menerima suratan takdir yang berbeda. pahit suatu saat akan menjadi manis. rumit suatu saat akan menjadi indah. berat suatu saat akan menjadi ringan. tangis suatu saat akan menjadi tawa. jeritan pilu suatu saat akan menjadi candaan ringan. semua akan ada masanya. hanya perlu berusaha, berikhtiar dan percaya bahwa tuhan memiliki rencana atas segala penderitaan ini.

Dentang jam besar yang berada tepat diatas kepalaku kembali membuyarkan lamunanku diatas gedung pencakar langit ini. isakan tangisku mulai tak terdengar, mungkin memang karna aku sudah lelah menangis. barisan sungai kecil yang berarak dipipi mulusku kembali berlinang. aku takkan melupakan kejadian itu, kejadian dimana aku harus kehilangan seseorang yang sangat berharga didalam hidupku. BOBBY, itulah namanya. pemuda yang selalu menjadi mood booster bagi hidupku yang suram. hidupku seakan tak berarti tanpanya. semua seakan berhenti setelah aku mengetahui bahwa ia tak lagi menghembuskan nafasnya yang selalu menghangatkan jiwaku. aku merindukannya. sangat. sekuat apapun aku menepis kenyataan ini, pada akhirnya aku berada dititik akhir kesabaran yang kumiliki. aku tak bisa hidup tanpanya. jika aku bisa menukar nyawaku akan kulakukan, itu semua demi dia. hidupnya amat sangat cemerlang tidak sepertiku yang terlanjur tenggelam dalam kehancuran. aku bahkan tak mampu merangkai masa depanku sendiri. apa yang bisa kulakukan jika tak ada dia? bangkit dari keterpurukan dan kesedihan ini saja aku tak mampu. BODOH. TAK BERGUNA. aku memang tak layak mendapatkan kesempatan hidup ini. mengapa harus dia yang kau ambil tuhan.. mengapa tidak orang lain saja? jika dia pergi, aku juga harus pergi. untuk apa aku hidup jika harus kehilangan dia.
Tekad ini sudahlah mantap. entah sudah berapa kali aku melakukannya namun selalu saja gagal. bukan karna aku mengurungkan niatku tetapi hanya saja kak David yang selalu memberiku kesempatan untuk kembali bernafas. bodoh memang. kenapa harus menyelamatkan orang yang sudah tak ingin lagi hidup.
Kedua tanganku telah terbentang untuk menyambut desiran angin yang sangat lembut menerpa tubuh mungilku, seakan mereka juga bermaksud untuk menghalangi niatku yang sudah bulat ini. dengan mata yang terpejam aku berusaha membuang semua hal yang selalu mengganjal fikiranku. aku ingin MATI, hanya itu yang harus kutekankan agar aku tidak merasa menyesal setelah melakukannya. ahh.. atau mungkin sudah tak bisa merasakan apapun lagi. yah, yang penting aku bisa bertemu dengan dia.
"kau tahu.. itu adalah tindakan yang bodoh. jika aku jadi kamu, aku tidak akan melakukan itu," ungkap sebuah suara yang sontak saja berhasil membuatku berbalik secara spontan.
Degupan jantungku amat terasa. kakiku mulai gemetar saat tersadar dari tindakanku barusan. aku takut ketinggian, dan untuk berdiri digedung ini memerlukan keberanian yang sangat ekstra. dengan mudahnya orang ini.. dia.. menggagalkan rencanaku hanya dengan sekali berbicara.
Pemuda tinggi, dan berambut pirang ini berdiri tepat disebelahku. dia menyenderkan tubuh jangkungnya disebuah dinding sambil memasukan kedua tangannya kedalam saku celana. wajahnya terkesan netral-netral saja atau mungkin ini adalah caranya untuk meyakinkanku mempertahankan nafas yang sudah enggan kuhirup.
"siapa kamu?"
"siapa aku itu bukanlah yang terpenting. yang benar itu 'apa yang aku lakukan disini?',"
Keningku mengerut jadi satu. bingung. aku sangat bingung.
"aku Alwin. kau Mela kan?"
Anggukan kecil kuberikan pada pemuda itu untuk mengiyakan pertanyaannya.
"apa kau tahu bunuh diri itu tidak akan menyelesaikan masalah,"
"aku sudah sering mendengarnya dan aku sudah bertekad untuk melakukannya jadi kau tidak perlu susah payah meyakinkanku," ketusku.
"aku tidak akan melarangmu. justru aku punya sebuah penawaran untukmu,"
"apa itu?" ucapan itu terlontar begitu saja dari bibirku. kekuatan apa yang sampai membuatku mengucapkannya saja aku tidak tahu.
"bagaimana jika aku bisa mengulang kejadian setahun yang lalu? kau bisa memperbaiki hidupmu,"
Tak ada yang keluar dari mulutku. aku hanya menatapnya bingung.
"aku bisa memutar kembali waktu tepat sehari sebelum kecelakaan itu berlangsung,"
"benarkah?" wajahku dalam sekejab terlihat begitu berseri.
"yup. tapi.. sebagai gantinya aku meminta 1 tahun sisa umurmu,"
DEG!
Ahh.. yang benar saja!
Pria itu tersenyum kecil sembari menautkan alisnya dihadapan wajahku. "misalnya kau hidup selama 50 tahun dikurangi 1 tahun jadi sisanya tinggal 49 tahun. tidak buruk kan?"
Penawaran ini terdengar seperti aji mumpung. untuk apa aku menyia-nyiakan waktu untuk memikirkan semua ini. toh yang terpenting aku bisa secepatnya bertemu dengan Bobby. aku bisa mengulang waktu dan bisa memeluknya kembali seperti dulu. itu tidak buruk kan?
"bagaimana.. Mela?" tanya Alwin memastikan.
"ya. aku mau!" ucapku mantap.
"baiklah.. pergunakan waktu yang kau miliki dengan sebaik-baiknya agar kau tidak menyesal." Ia menggerakan tangannya tepat didepan wajahku. perlahan langit mulai berarak dan bergerak mundur tak hanya itu tubuhku seakan terhisap kedalam sebuah dimensi waktu yang begitu gelap. aku takut. tapi jauh lebih takut lagi dengan ucapannya yang terakhir. terdengar misterius memang tapi... tak ada yang mengganjal fikiranku selain...
"Bobby?" pekikku kaget. saat ini aku tengah berdiri disebuah taman yang sangat kukenali. kulihat pemuda itu berjalan mendekatiku dengan perasaan ragu. aku tau apa yang akan dia katakan, karna memang aku sudah mengalaminya sebelumnya. ahh tidak! lebih tepatnya mengulanginya sekali lagi.
"Mela, aku.." Bobby menggantungkan kalimatnya. dia menatapku sendu. aku tak menghiraukan apapun lagi. dalam sekejab aku berlari untuk memeluk sosok itu. sosok yang selama ini kurindukan dan kini tengah berdiri dihadapanku. tetesan-tetesan air mata seakan berhamburan. tak ada kata yang terucap yang terdengar hanyalah detakan jantung kami yang berpacu seirama. mimpiku jadi kenyataan. terima kasih tuhan.. kau telah memberiku kesempatan kedua dan telah memutar kembali waktu untukku.
"aku kangen kamu Bob," bisikku lirih. tak terasa air mataku telah berlinang membasahi sebagian pakaian yang dikenakannya.
"kamu ga lagi sakit kan?" tanya Bobby kebingungan.
Aku menggeleng pelan disertai senyuman yang mampu membuat Bobby bernafas lega. "aku minta maaf.. seharusnya aku ga secepat itu menyimpulkan sesuatu, aku yang salah Bob.. maafin aku.."
"kamu ga salah kok. kita sama-sama salah, karna dengan mudahnya terjebak dalam permainan seseorang."
"kamu ga marah?"
"untuk apa aku marah? bukannya kamu yang marah?"
Gelengan kecil kembali kuberikan. aku tersenyum bahagia karna bisa memeluknya lagi setelah sekian lama.
"kita mulai semuanya dari awal ya? aku ingin kita melangkah kedepan bersama-sama. ga boleh lagi ada tangisan dan pertengkaran. karna.. kamu kan mood booster aku," Bobby tersenyum jahil dan seketika membuat aku mencubit pinggangnya gemas. "haha.. aku ingin hari ini dan selamanya kita terus bersama meskipun tuhan yang menentukan jalan hidup kita tapi ga ada salahnya kan kita berharap? kita kan hanya bisa berencana dan asalkan itu baik tuhan juga pasti memberi jalan." Ia meraih kedua tanganku yang masih melingkar dipinggangnya lalu menggenggamnya dengan hangat. "aku mau kamu menikah denganku Mela." ucapnya tulus. dia tersenyum amat teduh sambil memasangkan sebuah cincin dijari manisku. aku hanya dapat mengangguk mengiyakan ucapannya yang terdengar tulus.
***
Hari ini adalah hari dimana aku kehilangan segalanya. mimpi, harapan, serta cinta. sudah pasti aku tidak ingin mengalaminya lagi untuk kedua kalinya. mataku berkeliling mencari sosok Bobby dikantornya. tapi yang tertangkap dalam lensa mataku justru malah sosok kakanya, David.
"ciyeehh yang udah balikan," goda kak David yang lantas membuatku tersipu malu. "cari Bobby ya? dia ada tuh dicafe sama Calista biasalah siunyil minta ditemenin makan sama kakak kesayangannya." tukas kak David.
"kakak mau kesana juga?" tanyaku yang langsung mendapatkan anggukan pelan dari kak David. "bareng ya.."
"yakin nih Bobby ga cemburu? gini-gini aku masih ngarep loh sama kamu," lirikan matanya yang menggoda membuat nafasku seakan tercekat.
"apaan sih kakak mah.."
"haha bercanda Melaaa yaudah yuk sebelum Calis ngabisin menu satu cafe." candanya lagi yang segera membuatku tertawa geli.
***
Ada. yah, kulihat sosoknya ada dibarisan akhir kursi cafe itu. seperti yang terakhir kuingat dia memang duduk disana, tertawa dan tersenyum pada adik bungsunya. Bobby memang sangat menyayangi Calista seperti halnya David. cuma bedanya Bobby lebih sering memanjakan Calista sehingga membuat gadis itu selalu lengket dengannya.
"aahh ada kakak iparrr... sini kak siniiii duduk sama Calis!" seru Calista heboh sambil bergelayut manja dilenganku. melihat hal itu membuat Bobby dan David geleng-geleng kepala karna tingkahnya.
"kakak duduk dimana dong?" kak David memasang wajah memelasnya yang sangat lucu. aku tak kuasa menahan tawa saat melihatnya.
"noh sama kak Bobby aja. kan biasanya juga berdua sama kak Bobby, ini urusan cewek you Know?"
"idih.. gayanya udah hampir melebih-lebihin si mela. ckckck. iya deh kita berdua aja Bob, kita bikin rahasia juga jangan mau kalah sama si cewek-cewek rempong," tunjuk David tepat kearah kami berdua.
"kak Daviiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...." teriak Calista yang segera diantisipasi oleh sang kakak. David segera menutup mulut Calista rapat-rapat begitupun juga dengan Bobby. mengulangi kejadian ini memang sangat membahagiakan. karna sudah lama aku tidak berkumpul bersama mereka dan tertawa sebebas ini semenjak Bobby.... Bobby.... ahh, aku tak ingin mengingatnya lagi. yang harus kulakukan adalah mencegah hal tragis itu terjadi. tepat setengah jam lagi. What?! ya tuhan...
Mataku segera berkeliling bermaksud mengantisipasi kejadian naas itu tapi... lagi-lagi aku telat. karna kedatangan Opa memang tidak bisa kuprediksi bahkan meskipun aku telah mengulangnya.
Pria paruh baya yang terlihat angkuh itu berjalan tepat menghampiri meja kami. aku tak tahu apa yang kurasakan yang pasti bibirku seakan membeku dan tak mampu bergerak sedikitpun.
"Bobby! Opa ingin bicara sama kamu!" terdengar penekanan disetiap kata yang beliau ucapkan.
"enggak! jangan Bob!" larangku secara spontan dan tentu saja membuat ketiga orang yang ada didekatku lantas segera memandangku bingung.
"apa hakmu? kau bukanlah bagian keluarga kami. kamu hanyalah gadis biasa yang tidak sepadan dengan kami!" bentak Opa.
"cukup! Opa tidak punya hak untuk membentak dia seperti itu,"
"terus saja kau bela gadis rendahan seperti dia. mungkin memang kau juga tak lebih hina dari gadis itu!"
"cukup Opa!"
Tatapan sengit itu kembali terbesit disorot mata keduanya. kenapa pertengkaran itu harus kembali terjadi? apa yang harus kulakukan untuk mencegah tragedi ini tuhan?
"kalian bisa ga sih ga ribut ditempat umum seperti ini?" Kak David mencoba mencairkan suasana meskipun hatinya terasa amat panas mendengar hinaan Opa atas Bobby dan juga padaku.
"ikut Opa!" Opa menarik lengan Bobby bermaksud untuk membawanya pergi. namun, entah dapat bisikan dari mana aku segera menarik lengan Bobby yang satunya. aku sungguh tidak rela. amat sangat tidak rela. terlihat kemarahan yang sangat menakutkan dari raut wajah pria renta itu. aksi tarik menarik itu terjadi. Bobby hanya menatap bingung kami berdua tanpa sempat membantahnya.
"Minggir kamu!" hempasan kasar itu mendorong kuat tubuh mungilku hingga terjatuh kelantai.
"apa yang Opa lakukan?! jangan berbuat sekasar itu pada Mela!" bentak Bobby. ia bermaksud membantuku berdiri. namun, cengkeraman Opa lagi-lagi menahan tubuhnya. ingin rasanya Bobby memberontak tapi ketika melihat gelengan pelan dari kak David cukup membuat ia mengurungkan niatnya. kak David mengangguk berusaha memberi isyarat untuk  Bobby menuruti keinginan Opa.
"biar Mela sama gue," ucapan itu cukup membuat Bobby tenang. ia mengikuti kemana Opa membawanya pergi. meskipun dia tak tahu apakah dia bisa menekan amarahnya sendiri nantinya.
"jangan Bob.. kak, jangan biarin Bobby ikut Opa, Mela mohon kak.."
"kenapa? nanti juga Bobby balik kok Mel,"
"Nggak kak.. dia ga akan balik. Bobby akan celaka nantinya, percaya sama Mela kak,"
"Ap..."
"Please.. kali ini aja kakak dengerin Mela, Please.."
"oke.. okee.. kakak ga akan ngelarang kamu tapi apa maksud ucapan kamu tadi?"
"ga ada waktu untuk ngejelasinnya." Aku segera bangkit lalu berlari sekuat dan secepat yang kubisa. kutilik arlojiku yang menampilkan waktu 15.45 WIB. 5 menit lagi! apa bisa aku cegah tragedi itu tuhan?
***
Suara bising proyek pembangunan perusahaan keluarganya Bobby tak menyurutkan diriku untuk berfikir jernih. aku masih sangat hafal dimana Bobby meninggal dan bagaimana kejadian naas itu berlangsung. mataku terus terpaku pada sebuah besi  bangunan yang tergantung diatas gedung yang belum sepenuhnya selesai dibangun. lambat laun besi itu bergerak tepat diatas kepala mereka. meskipun dalam jarak yang cukup tinggi itu tidak akan membuat hatiku tenang, justru karna ketinggian itulah yang membuat besi itu menjadi sebuah malapetaka hari ini.
Kulihat kedua pria itu tengah bertengkar hebat. entah apa yang mereka bicarakan, aku tak dapat mendengarnya secara pasti. yang aku fikirkan hanya Bobby. bagaimana caraku untuk menyelamatkan pemuda itu. HANYA ITU. Takdir harus diubah! aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Bobbyyyyyy awasssssss!!!" aku berteriak lantang sambil terus berlari menerobos riuhnya para pekerja yang berlalu lalang ditempat itu. aku tak memperhatikan kondisi jalanan karna mataku hanya terfokus menatap dia. hanya dia seorang.
BRUUK!
Aku tersungkur ketika kakiku menabrak sebuah batu yang ada dijalan tersebut. rasa sakit itu mulai menjalar ditambah dengan darah yang mengalir dari sela-sela jari kakiku. aku tak menghiraukannya dan kembali menatap kedepan.
Inilah keputusannya. awal dari tragedi itu bermula. kulihat Bobby mendongak keatas. dia melihat sebuah besi yang tergantung diatas kepalanya mulai bergerak tak stabil, kontrol kemudi itu sepertinya macet hingga menjatuhkan besi-besi itu ditempat yang tidak seharusnya. raut kepanikan mulai terlintas diwajah tampannya. ia tak lagi menghiraukan tatapan kemarahan Opa. dengan ringannya dia mendorong tubuh renta itu agar terselamat dari kecelakaan fatal yang mampu merenggut nyawa seseorang.
BODOH. DASAR BODOH. sudah susah payah mendapatkan kesempatan emas ini aku harus berdiam diri layaknya orang bodoh lagi? melihat kekasihku meregang nyawa didepan mataku untuk kedua kalinya? itu adalah kebodohan terfatal untukku!
"Bobbyyyyy..." jeritan Calista dan kak David terdengar. dengan segera aku berlari menembus padatnya orang yang menyaksikan  kejadian naas itu. entah apakah bisa kuubah aku tak terlalu menghiraukannya yang pasti aku hanya bergerak sesuai apa yang aku inginkan. dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki aku mendorong tubuh itu untuk menghindari kejadian buruk yang harusnya menimpa dirinya.
BRUUKK!
Hantaman itu seketika melemahkan syarafku. aku masih bisa merasakan hembusan nafasku juga detakan jantungku yang terpompa kuat. suasana mendadak hening. sepi. senyap. karna yang terdengar ditelingaku hanyalah suara lonceng jam yang entah datang dari mana. samar-samar aku melihat Alwin. pemuda itu berdiri ditengah keramaian orang yang berhambur mengelilingiku. bibirku kelu. untuk mengucapkan sebuah katapun aku tak sanggup. kulihat Bobby menangis sambil menggenggam kuat tanganku begitu juga dengan Calista dan kak David yang tampak sangat takut melihat keadaanku. sementara Opa? beliau terlihat amat Shock dengan kejadian barusan, ya.. sama seperti yang kulihat saat itu. cuma bedanya bukan Bobby yang celaka melainkan aku.
Pandanganku mulai berbayang. sepasang tangan membantuku untuk berdiri tegak dan itu adalah Alwin. aku tak menyangka aku melihat tubuhku sendiri terkapar dihadapanku dengan darah yang bergelimpangan disekitarku yang asalnya dari tubuhku sendiri. aku menangis saat melihat orang-orang yang kucintai tengah berduka. berduka karna kehilangan diriku.
"kenapa aku mati?" tanyaku pada Alwin. satu-satunya sosok yang bisa kusentuh.
"sesuai perjanjian, aku akan memutar kembali waktu dengan syarat menukarnya dengan 1 tahun sisa umurmu,"
"maksud kamu. aku..."
" karna usiamu hanya sampai setahun setelah kejadian ini dan seharusnya kamu mati dengan cara melompat dari atas gedung pencakar langit itu,"
"kenapa..." aku mulai menangis karna pada akhirnya aku dan Bobby tetap tidak bisa bersama.
"kau tau bagi kedua orang tuamu mati dengan cara mengorbankan nyawa untuk orang lain jauh lebih terhormat dibandingkan dengan cara bunuh diri. aku hanya menjalankan tugasku yaitu memperbaiki kesalahan terfatalmu. kau menganggap hidupmu tidak berarti bukan? maka dengan cara ini kamu memberikan kesempatan untuk  Bobby karna pemuda itu memiliki masa depan yang sangat cerah. dia adalah orang hebat dan kau telah berjasa atas hidupnya." Alwin menepuk pundakku sesaat sebelum aku pergi. kulihat ada sebuah cahaya putih yang menggantung diatas langit. lambat laun cahaya itu menarik tubuhku keatas langit. aku melihat senyuman diwajah datar Alwin. aku masih bingung dengan kejadian ini dan lagi aku baru ingat aku tak pernah melihat Alwin sebelumnya, dari mana asalnya akupun tidak tahu. aku mengiyakan penawarannya tanpa sempat mengetahui siapa dia.
"siapa kamu? kamu bukan manusia biasa kan? lalu apa sebenarnya dirimu?"
Alwin kembali menatapku sembari memasukan kedua tangannya kedalam saku. "aku adalah kesempatan keduamu." hanya sebait kalimat yang diucapkan olehnya dan membuat perasaanku bagai diterpa angin sejuk. terasa damai memang tapi juga bingung. lamat-lamat aku melihat tubuhku dibopong dari atas langit, isak tangis mewarnai kepergianku. entah kenapa aku tersenyum melihatnya karna setidaknya aku berhasil menukar nyawaku seperti apa yang kuinginkan sebelumnya.



the end


ini ga nyambung ya? kayanya yang ngerti sama alurnya cuma authornya aja ya. wkwkwk... maaf buat yang nungguin lanjutan cerbung Mela karna dalam waktu dekat ini belum sempet Mela post karna kondisinya masih amat sangat berduka. ga usah dicerna maksud dari cerpen ini ya karna yang harusnya kalian ambil adalah sisi positif dan hikmahnya (kalo ada sih) -_-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar